Logo Baitul Mal Aceh Utara
Minggu, 19 Januari 2014
Rabu, 15 Januari 2014
Senin, 06 Januari 2014
KONSEP BAITUL MAL
5.Menggagas Konsep
Baitul Mal
5.1. Sumber Dana/Harta
Baitul Mal Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani
Baitul Mal Syaikh
Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitabnya An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam (1990)
telah menjelaskan sumber-sumber pemasukan bagi Baitul Mal dan kaidah-kaidah
pengelolaan hartanya. Sumber-sumber tetap bagi Baitul Mal menurutnya adalah:
fai’, ghanimah/anfal, kharaj, jizyah, pemasukan dari harta milik umum,
pemasukan dari harta milik negara, usyuur, khumus dari rikaz, tambang, serta
harta zakat (An Nabhani, 1990).
Hanya saja, harta zakat diletakkan pada kas khusus Baitul Mal, dan tidak diberikan selain untuk delapan ashnaf (kelompok) yang telah disebutkan di dalam Al Qur’an. Tidak sedikit pun dari harta zakat tersebut boleh diberikan kepada selain delapan ashnaf tersebut, baik untuk urusan negara, maupun urusan umat.
Imam (Khalifah) boleh saja memberikan harta zakat tersebut berdasarkan pendapat dan ijtihadnya kepada siapa saja dari kalangan delapan ashnaf tersebut. Imam (Khalifah) juga berhak untuk memberikan harta tersebut kepada satu ashnaf atau lebih, atau membagikannya kepada mereka semuanya (An Nabhani, 1990). Begitu pula pemasukan harta dari hak milik umum. Harta itu diletakkan pada Diwan khusus Baitul Mal, dan tidak boleh dicampuradukkan dengan yang lain. Sebab harta tersebut menjadi hak milik seluruh kaum muslimin, yang diberikan oleh Khalifah sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin yang menjadi pandangan dan ijtihadnya berdasarkan hukum-hukum syara’.
Hanya saja, harta zakat diletakkan pada kas khusus Baitul Mal, dan tidak diberikan selain untuk delapan ashnaf (kelompok) yang telah disebutkan di dalam Al Qur’an. Tidak sedikit pun dari harta zakat tersebut boleh diberikan kepada selain delapan ashnaf tersebut, baik untuk urusan negara, maupun urusan umat.
Imam (Khalifah) boleh saja memberikan harta zakat tersebut berdasarkan pendapat dan ijtihadnya kepada siapa saja dari kalangan delapan ashnaf tersebut. Imam (Khalifah) juga berhak untuk memberikan harta tersebut kepada satu ashnaf atau lebih, atau membagikannya kepada mereka semuanya (An Nabhani, 1990). Begitu pula pemasukan harta dari hak milik umum. Harta itu diletakkan pada Diwan khusus Baitul Mal, dan tidak boleh dicampuradukkan dengan yang lain. Sebab harta tersebut menjadi hak milik seluruh kaum muslimin, yang diberikan oleh Khalifah sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin yang menjadi pandangan dan ijtihadnya berdasarkan hukum-hukum syara’.
SEJARAH lahirnya BAITUL MAL
Baitul Mal Tinjauan Historis Dan Konsep Idealnya
Baitul Mal atau Baitul
Mal wat Tamwil begitu marak belakangan ini seiring dengan upaya umat untuk
kembali berekonomi sesuai syariah dan berkontribusi menanggulangi krisis
ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Namun Baitul Mal atau BMT
ternyata dipahami secara sempit sebagai lembaga ekonomi privat yang mengurusi
sebagian aspek ekonomi umat, seperti wadhiah atau mudharabah.Padahal, Baitul
Mal sesungguhnya bukanlah lembaga privat atau swasta, melainkan sebuah lembaga
yang mengurusi segala pemasukan dan pengeluaran dari negara Islam (Khilafah).
Baitul Mal dalam pengertian ini, telah dipraktekkan dalam sejarah Islam sejak
masa Rasulullah, diteruskan oleh para khalifah sesudahnya, yaitu masa Abu Bakar,
Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, dan khalifah-khalifah
berikutnya, hingga kehancuran Khilafah di Turki tahun 1924. Gagasan konsep
Baitul Mal yang ideal perlu disusun dengan merujuk kepada ketentuan-ketentuan
syariah, baik dalam hal sumber-sumber pendapatan maupun dalam hal
pengelolaannya.
Sumber-sumber
pendapatan Baitul Mal adalah fai’, ghanimah/anfal, kharaj, jizyah, pemasukan
dari harta milik umum, pemasukan dari harta milik negara, usyuur, khumus dari
rikaz, tambang, serta harta zakat. Sedang pengelolaannya didasarkan pada enam
kategori harta, yaitu :
1.
Harta Zakat
2.
Harta untuk menanggulangi terjadinya
kekurangan dan untuk melaksanakan kewajiban jihad
3.
Harta sebagai suatu pengganti/kompensasi
(badal/ujrah), seperti gaji pegawai negeri,
4.
Harta untuk kemaslahatan secara umum
yang merupakan keharusan,
5.
Harta untuk kemaslahatan secara umum
yang tidak merupakan keharusan, dan
6.
Harta untuk menangani kondisi darurat, semisal
bencana alam.
Langganan:
Postingan (Atom)