OPINI KE-DUA


OPINI
Zakat untuk Kesejahteraan
Oleh : Tgk. Fachrurrazi, S.Pd
Kepala Baitul Mal Kabupaten Aceh Utara Provinsi Aceh
http://padangekspres.co.id/img/sot.gif Aceh Utara • Selasa 14/01/2014 12:10 WIB •Dalam Rangka  Memperingati Maulid Nabi Muhammad S.A.W
Kesejahteraan adalah dam­baan setiap orang, masyarakat dan bangsa-bangsa. Sebaliknya, setiap orang tidak menginginkan hidup dalam kemiskinan. Setiap orang miskin menginginkan keluar dari jerat ke­miskinan.

Kesejahteraan yang didambakan mencakup sisi material maupun spiritual, kebendaan dan kejiwaan, lahir maupun batin. Kesejahteraan meling­kup banyak hal, yaitu penghasilan yang mencukupi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup, ilmu pengetahuan yang luas dan bermanfaat, badan yang sehat, perumahan yang layak. Ter­masuk pula kebutuhan terhadap kea­manan, ketentraman dan ketertiban sosial.

Namun, cukup banyak masyarakat di daerah kita, bahkan bangsa kita yang menganggap kesejahteraan sebagai mimpi yang sulit menjadi kenyataan. Cukup banyak yang berada dalam kemiskinan. Data BPS (2012) me­ngung­kapkan dengan garis  kemis­kinan sekitar 233 ribu per bulan per orang pada tahun 2011, terdapat 30 juta penduduk miskin. Jumlah ini setara dengan 12,5 persen penduduk Indonesia. Bila ukuran garis kemiskinan dinaikkan menjadi 2 kali lipat atau setara dengan ukuran internasional US$ 2 per hari, karena rendahnya garis kemiskinan nasional, jumlah pen­duduk miskin di Indonesia dapat melebihi 40 persen.

Kemiskinan ditunjukkan pula dari tidak terpenuhinya kebutuhan pen­di­dikan dan kesehatan. Kemiskinan pendidikan dicerminkan oleh angka partisipasi sekolah sebesar 87 persen yang berarti 13 persen anak usia 13-15 yang tidak bersekolah di SLTP. Bahkan mencapai 43 persen anak-anak usia 16-18 tahun yang tidak bersekolah pada jenjang SLTA. Indikator kemiskinan dari ukuran kesehatan yaitu tingkat kesakitan atau persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan mencapai 31 persen pada tahun 2010 dan sekitar 17,9 persen Balita menga­lami kekurangan gizi. Itulah sedikit gambaran tentang kemiskinan dan masih cukup besarnya persoalan kese­jahteraan masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah umat Islam.

Zakat sebagai Solusi Islam


Di antara instrumen (peralatan) yang dimiliki syariat Islam untuk menjawab permasalahan kesejah­teraan umat itu adalah kewajiban ibadah zakat.  Instrumen ini adalah bagian penting, disamping infak, sedekah, wakaf dan sebagainya. Ter­dapat sejumlah posisi, peran dan kedudukan penting dalam zakat.

Pertama, zakat adalah salah satu rukun Islam. Bahkan Allah seringkali menyebut kewajiban zakat menyertai kewajiban shalat (QS, 2 : 43, 110, 117). Kewajiban zakat diiringi dengan keu­tamaan dan pahala yang besar bagi muslim yang menunaikan kewajiban zakat yang dijanjikan oleh Allah SWT (QS 2: 277; 35: 29; 9: 18, 71)

Kedua, fungsi tri-tunggal zakat. Ahli ekonom Islam, M.A. Mannan  menge­mukakannya berlandaskan Al-Quran Surat At-Taubah, 9 ayat 103. Ayat ini artinya, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan me­reka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (men­jadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Ekonom Islam, M.A. Mannan mendasarkan ayat ini dalam menyatakan fungsi zakat. Tiga fungsi yang saling berkaitan dari zakat yaitu : fungsi sosialnya untuk meng­hapuskan kemiskinan dari masyarakat dan menyadarkan si kaya terhadap tanggungjawab sosialnya; fungsi mo­ralnya dalam mengikis ketamakan dan keserakahan si kaya; serta fungsi ekonominya sebagai mekanisme distri­busi dalam mencegah penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang yang dapat berdampak amat me­ngerikan (Mannan, 1994).

Makna sosial ekonomi zakat mene­gaskan bahwa zakat bukanlah suatu bentuk belas kasihan. Zakat memiliki perbedaan penekanan moralitas diban­ding jaminan sosial (charity) di negara-negara penganut ekonomi kese­jah­teraan (welfare economy), seperti tunjangan penganggur,  tunjangan kesehatan, tunjangan keluarga  dan sebagainya di negara-negara maju. Zakat merupakan saluran (mekanisme) yang disediakan Islam untuk menyu­cikan harta yang dimiliki oleh orang-orang  yang dimampukan secara material oleh Allah SWT, sehingga mereka menjadi muzakki (orang yang disucikan hartanya). Pembayaran zakat merupakan pengakuan muzakki ter­hadap hak orang-orang yang berhak (mustahiq zakat)  atas sebagian harta yang dimilikinya (QS 51 : 19).

Pembayar zakat bukan pula bentuk kedermawanan individual muslim sehingga muzakki merasa dirinya lebih tinggi dan mulia karena kekayaannya. Pada keadaan lain, penerima atau mustahiq zakat tidaklah patut merasa rendah diri karena menilai zakat sebagai ungkapan rasa iba orang berpunya terhadap nasibnya. Zakat menjadi sarana yang disediakan Islam sebagai cerminan kemauannya untuk memupus individualisme dan egoisme atas kekayaan dan kemewahan. Zakat sekaligus menjadi bagian dari semesta instrumen kebijakan bagi pencapaian tatanan sosial yang didasarkan pada  prinsip persamaan, tolong-menolong, dan persaudaraan. Inilah bentuk kon­kret yang layak-terap (implementatif) yang ditawarkan Islam untuk mewu­judkan orde sosial yang tertib dan aman karena matinya kecemburuan sosial, pudurnya angkara kebencian dan pupusnya rasa dendam.

Ketiga, zakat yang berarti menyu­cikan akan menyebabkan harta itu semakin berkembang. Jika harta seum­pama tanaman, pada awal pertum­buhan perlu disiangi dari rumput atau ilalang dan tanaman penganggu se­kitar­nya. Dengan itu, pertumbuhan tan­aman menjadi lebih cepat. Seba­gaimana pula tubuh manusia ber­kembang cepat dari makanan bersih dan sehat dibanding makanan yang tercemar dan menyebabkan sakit.

 Tindaklanjut




Bulan puasa sebagai bulan ibadah dapat menjadi momentum untuk meningkatkan efektifitas zakat dalam memecahkan permasalahan kese­jahteraan umat. Puasa dan zakat merupakan kewajiban yang harus ditunaikan setiap muslim. Penum­buhan kesadaran berzakat perlu dida­sarkan atas pengetahuan dan kesa­daran terhadap besarnya pahala dari Allah SWT sekaligus ancaman bagi pengingkaran berzakat oleh muzakki.

Besarnya pahala dan tumbuhnya tanggungjawab sosial setiap individu muslim mendorongnya pula untuk menjadi seorang muzakki. Untuk itu, ia bekerja tekun dan keras dalam mencari rezeki agar semakin jauh melebihi nisab (batas minimal kena zakat), sehingga makin banyak jumlah zakat yang dapat ditunaikan untuk menjawab masalah kesejahteraan umat. Dalam hal inilah, setiap muslim sebagai calon muzakki maupun yang telah menjadi muzakki memposisikan dirinya  sebagai mujahid ekonomi yaitu orang yang berjuang dalam memerangi kemiskinan sebagai masalah utama umat Islam Indonesia.            

Seiring dengan itu, efektifitas zakat sangat ditentukan oleh sistem penge­lolaan. Zakat semakin efektif jika dikelola secara sistem oleh lembaga amil (pengelola), baik pemerintah seperti Badan Amil Zakat daerah (BAZDA) maupun lembaga kema­sya­rakatan seperti Rumah Zakat, PKPU, Dompet Dhuafa dan sebagainya. Pro­fesionalisme lembaga amil zakat untuk menjadi lembaga terpercaya (trust) yang dilandasi oleh tata kelola lembaga zakat yang baik (good governance) dengan transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas menjadi se­buah keniscayaan pula.

Akhirnya, Umar bin Abdul Aziz telah menjadi bukti sejarah bahwa kewajiban zakat dan pengelolaannya secara baik merupakan salah satu instrumen yang efektif untuk me­negtaskan umat dari kemiskinan me­nuju kesejahteraan. Insya Allah(*)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SALURKAN ZAKAT, INFAQ & SHADAQAH ANDA MELALUI LEMBAGA AMIL BAITUL MAL ACEH UTARA