Baitul Mal Tinjauan Historis Dan Konsep Idealnya
Baitul Mal atau Baitul
Mal wat Tamwil begitu marak belakangan ini seiring dengan upaya umat untuk
kembali berekonomi sesuai syariah dan berkontribusi menanggulangi krisis
ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Namun Baitul Mal atau BMT
ternyata dipahami secara sempit sebagai lembaga ekonomi privat yang mengurusi
sebagian aspek ekonomi umat, seperti wadhiah atau mudharabah.Padahal, Baitul
Mal sesungguhnya bukanlah lembaga privat atau swasta, melainkan sebuah lembaga
yang mengurusi segala pemasukan dan pengeluaran dari negara Islam (Khilafah).
Baitul Mal dalam pengertian ini, telah dipraktekkan dalam sejarah Islam sejak
masa Rasulullah, diteruskan oleh para khalifah sesudahnya, yaitu masa Abu Bakar,
Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, dan khalifah-khalifah
berikutnya, hingga kehancuran Khilafah di Turki tahun 1924. Gagasan konsep
Baitul Mal yang ideal perlu disusun dengan merujuk kepada ketentuan-ketentuan
syariah, baik dalam hal sumber-sumber pendapatan maupun dalam hal
pengelolaannya.
Sumber-sumber
pendapatan Baitul Mal adalah fai’, ghanimah/anfal, kharaj, jizyah, pemasukan
dari harta milik umum, pemasukan dari harta milik negara, usyuur, khumus dari
rikaz, tambang, serta harta zakat. Sedang pengelolaannya didasarkan pada enam
kategori harta, yaitu :
1.
Harta Zakat
2.
Harta untuk menanggulangi terjadinya
kekurangan dan untuk melaksanakan kewajiban jihad
3.
Harta sebagai suatu pengganti/kompensasi
(badal/ujrah), seperti gaji pegawai negeri,
4.
Harta untuk kemaslahatan secara umum
yang merupakan keharusan,
5.
Harta untuk kemaslahatan secara umum
yang tidak merupakan keharusan, dan
6.
Harta untuk menangani kondisi darurat, semisal
bencana alam.
1. Pendahuluan
Istilah Baitul Mal atau
Baitul Mal wat Tamwil (BMT) belakangan ini populer seiring dengan semangat umat
untuk berekonomi secara Islam dan memberikan solusi terhadap krisis ekonomi
yang terjadi di Indonesia sejak 1997. Istilah-istilah itu biasanya dipakai oleh
sebuah lembaga khusus (dalam sebuah perusahaan atau instansi) yang bertugas
menghimpun dan menyalurkan ZIS (zakat, infaq, shadaqah) dari para pegawai atau
karyawannya. Kadang istilah tersebut dipakai pula untuk sebuah lembaga ekonomi
berbentuk koperasi serba usaha yang bergerak di berbagai lini kegiatan ekonomi
umat, yakni dalam kegiatan sosial, keuangan (simpan-pinjam), dan usaha pada
sektor riil (Tim DD-FES-BMT, 1997).
Memang, niat dan
semangat yang tinggi untuk berekonomi Islam itu patut dihargai. Akan tetapi,
penggunaan istilah Baitul Mal tersebut nampaknya perlu dipertimbangkan lagi
secara bijaksana. Karena, penggunaan istilah Baitul Mal sekarang ini sebenarnya
adalah suatu reduksi ¾ kalau tak dapat dikatakan distorsi ¾ terhadap ketentuan
syariah Islam tentang Baitul Mal. Dalam konsep aslinya ¾ seperti yang tersebut
dalam ketentuan nash-nash syara’ maupun praktek konkretnya dalam sejarah Islam
¾ Baitul Mal merupakan salah satu lembaga dalam negara Islam (Khilafah
Islamiyah) yang tugas utamanya adalah mengelola segala pemasukan dan pengeluaran
negara (Zallum, 1983). Baitul Mal merupakan lembaga keuangan negara yang
bertugas menerima, menyimpan, dan mendistribuslkan uang negara sesuai ketentuan
syariat. Ringkasnya, Baitul Mal dapat disamakan dengan kas negara yang ada
dewasa ini (Dahlan, 1999).
Jadi, ada “bahaya” tersamar dengan penggunaan istilah Baitul Mal ¾ juga istilah Baitul Mal wat Tamwil (BMT)¾ seperti yang populer sekarang. Pertama, istilah Baitul Mal hanya akan dipahami secara dangkal dan parsial, tidak lagi dipahami sebagai institusi yang terintegrasi dalam negara Islam (Khilafah). Jika istilah Baitul Mal disebut, umat tak lagi berpikir lagi tentang Khilafah, yang menjadi payung atau induk keberadaannya, namun yang terpikir adalah aktivitas-aktivitas ekonomi parsial yang dilakukan oleh rakyat, bukan oleh negara. Kedua, penggunaan istilah Baitul Mal akan dapat membius atau meninabobokkan umat dan membuat mereka puas dengan apa yang telah mereka capai, sehingga lupa terhadap sistem ekonomi Islam yang hakiki, yang hanya akan terwujud dalam naungan negara Khilafah. Mereka mungkin akan menyangka, Baitul Mal yang ada sekarang adalah kurang lebih sama dengan Baitul Mal yang ada dalam sejarah Islam.
Jadi, ada “bahaya” tersamar dengan penggunaan istilah Baitul Mal ¾ juga istilah Baitul Mal wat Tamwil (BMT)¾ seperti yang populer sekarang. Pertama, istilah Baitul Mal hanya akan dipahami secara dangkal dan parsial, tidak lagi dipahami sebagai institusi yang terintegrasi dalam negara Islam (Khilafah). Jika istilah Baitul Mal disebut, umat tak lagi berpikir lagi tentang Khilafah, yang menjadi payung atau induk keberadaannya, namun yang terpikir adalah aktivitas-aktivitas ekonomi parsial yang dilakukan oleh rakyat, bukan oleh negara. Kedua, penggunaan istilah Baitul Mal akan dapat membius atau meninabobokkan umat dan membuat mereka puas dengan apa yang telah mereka capai, sehingga lupa terhadap sistem ekonomi Islam yang hakiki, yang hanya akan terwujud dalam naungan negara Khilafah. Mereka mungkin akan menyangka, Baitul Mal yang ada sekarang adalah kurang lebih sama dengan Baitul Mal yang ada dalam sejarah Islam.
Mungkin karena alasan
semacam itulah, istilah Baitul Mal di Aceh kemudian disepakati untuk diubah
namanya menjadi Baitul Qiradh (Hakim, 1995). Di Kuwait sebuah lembaga keuangan
diberi nama Baitut Tamwil Al Kuwaiti (Qaradhawi, 1997). Fenomena semacam ini
kiranya dapat menjadi bahan pertimbangan dan renungan. Namun, terlepas dari dua
“bahaya” itu, konsep Baitul Mal itu sendiri memang harus dikaji kembali dengan
seksama dengan melihat ketentuan hukum syara’ mengenai Baitul Mal dan realitas
objektif dari praktek Baitul Mal yang terbentang sepanjang sejarah Islam.
Dengan demikian, kita akan memiliki persepsi yang benar dan utuh mengenai
Baitul Mal, termasuk kedudukannya sebagai bagian integral dari Khilafah. Dengan
bekal persepsi yang benar inilah, mudah-mudahan kita akan mampu menerapkan
konsep Baitul Mal secara sempurna dalam realitas kehidupan suatu saat kelak,
Insya Allah.
2. Pengertian Baitul
Mal
Baitul Mal berasal dari
bahasa Arab bait yang berarti rumah, dan al-mal yang berarti harta. Jadi secara
etimologis (ma’na lughawi) Baitul Mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau
menyimpan harta (Dahlan, 1999).
Adapun secara
terminologis (ma’na ishtilahi), sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1983)
dalam kitabnya Al Amwaal Fi Daulah Al Khilafah, Baitul Mal adalah suatu lembaga
atau pihak (Arab: al jihat) yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta
umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Jadi setiap harta baik
berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, komoditas perdagangan, maupun
harta benda lainnya di mana kaum muslimin berhak memilikinya sesuai hukum
syara’ dan tidak ditentukan individu pemiliknya ¾ walaupun telah tertentu pihak
yang berhak menerimanya ¾ maka harta tersebut menjadi hak Baitul Mal, yakni
sudah dianggap sebagai pemasukan bagi Baitul Mal. Secara hukum, harta-harta itu
adalah hak Baitul Mal, baik yang sudah benar-benar masuk ke dalam tempat
penyimpanan Baitul Mal maupun yang belum.
Demikian pula setiap harta yang wajib dikeluarkan untuk orang‑orang yang berhak menerimanya, atau untuk merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin, atau untuk biaya penyebarluasan dakwah, adalah harta yang dicatat sebagai pengeluaran Baitul Mal, baik telah dikeluarkan secara nyata maupun yang masih berada dalam tempat penyimpanan Baitul Mal.
Dengan demikian, Baitul Mal dengan makna seperti ini mempunyai pengertian sebagai sebuah lembaga atau pihak (al-jihat) yang menangani harta negara, baik pendapatan maupun pengeluaran.
Namun demikian, Baitul Mal dapat juga diartikan secara fisik sebagai tempat (al- makan) untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta yang menjadi pendapatan negara (Zallum, 1983).
3. Sejarah Ringkas
Baitul Mal
3.1.
Masa Rasulullah SAW (1-11 H/622-632 M)
Baitul Mal dalam arti
terminologisnya seperti diuraikan di atas, sesungguhnya sudah ada sejak masa
Rasulullah SAW, yaitu ketika kaum muslimin mendapatkan ghanimah (harta rampasan
perang) pada Perang Badar (Zallum, 1983). Saat itu para shahabat berselisih
paham mengenai cara pembagian ghanimah tersebut sehingga turun firman Allah SWT
yang menjelaskan hal tersebut:
‘Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah,’Harta rampasan perang itu adalah milik Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman.’ (QS Al Anfaal : 1)
Dengan ayat ini, Allah menjelaskan hukum tentang pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. Selain itu, Allah juga memberikan wewenang kepada Rasulullah SAW untuk membagikannya sesuai pertimbangan beliau mengenai kemaslahatan kaum muslimin. Dengan demikian, ghanimah Perang Badar ini menjadi hak bagi Baitul Mal, di mana pengelolaannya dilakukan oleh Waliyyul Amri kaum muslimin ¾ yang pada saat itu adalah Rasulullah SAW sendiri ¾ sesuai dengan pendapatnya untuk merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin (Zallum, 1983).
‘Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah,’Harta rampasan perang itu adalah milik Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman.’ (QS Al Anfaal : 1)
Dengan ayat ini, Allah menjelaskan hukum tentang pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. Selain itu, Allah juga memberikan wewenang kepada Rasulullah SAW untuk membagikannya sesuai pertimbangan beliau mengenai kemaslahatan kaum muslimin. Dengan demikian, ghanimah Perang Badar ini menjadi hak bagi Baitul Mal, di mana pengelolaannya dilakukan oleh Waliyyul Amri kaum muslimin ¾ yang pada saat itu adalah Rasulullah SAW sendiri ¾ sesuai dengan pendapatnya untuk merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin (Zallum, 1983).
Pada masa Rasulullah
SAW ini, Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang
menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun
pengeluaran. Saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan
harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada,
harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi‑bagikan kepada kaum muslimin
serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah SAW senantiasa
membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya
peperangan, tanpa menunda‑nundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera
menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.
Seorang shahabat bernama Hanzhalah bin Shaifi ¾ yang menjadi penulis (katib) Rasulullah SAW ¾ menyatakan :
Seorang shahabat bernama Hanzhalah bin Shaifi ¾ yang menjadi penulis (katib) Rasulullah SAW ¾ menyatakan :
‘Rasulullah SAW menugaskan aku dan mengingatkan aku (untuk membagi-bagikan harta) atas segala sesuatu (harta yang diperoleh) pada hari ketiganya… Tidaklah datang harta atau makanan kepadaku selama tiga hari, kecuali Rasulullah SAW selalu mengingatkannya (agar segera didistribusikan). Rasulullah SAW tidak suka melalui suatu malam sementara ada harta (umat) di sisi beliau.” (Zallum, 1983).
Pada umumnya Rasulullah SAW membagi-bagikan harta pada hari diperolehnya harta itu. Hasan bin Muhammad menyatakan :
‘Rasulullah SAW tidak
pernah menyimpan harta baik siang maupun malamnya…’
Dengan kata lain, bila harta itu datang pagi-pagi, akan segera dibagi sebelum tengah hari tiba. Demikian juga jika harta itu datang siang hari, akan segera dibagi sebelum malam hari tiba. Oleh karena itu, saat itu belum ada atau belum banyak harta tersimpan yang mengharuskan adanya tempat atau arsip tertentu bagi pengelolaannya (Zallum, 1983).
Dengan kata lain, bila harta itu datang pagi-pagi, akan segera dibagi sebelum tengah hari tiba. Demikian juga jika harta itu datang siang hari, akan segera dibagi sebelum malam hari tiba. Oleh karena itu, saat itu belum ada atau belum banyak harta tersimpan yang mengharuskan adanya tempat atau arsip tertentu bagi pengelolaannya (Zallum, 1983).
3.2. Masa Khalifah Abu
Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Keadaan seperti di atas
terus berlangsung sepanjang masa Rasulullah SAW. Ketika Abu Bakar menjadi
Khalifah, keadaan Baitul Mal masih berlangsung seperti itu di tahun pertama
kekhilafahannya (11 H/632 M). Jika datang harta kepadanya dari wilayah-wilayah
kekuasaan Khilafah Islamiyah, Abu Bakar membawa harta itu ke Masjid Nabawi dan
membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Untuk urusan
ini, Khalifah Abu Bakar telah mewakilkan kepada Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Hal
ini diketahui dari pernyataan Abu Ubaidah bin Al Jarrah saat Abu Bakar dibai’at
sebagai Khalifah. Abu Ubaidah saat itu berkata kepadanya, ‘Saya akan membantumu
dalam urusan pengelolaan harta umat.’ (Zallum, 1983).
Kemudian pada tahun kedua kekhilafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar merintis embrio Baitul Mal dalam arti yang lebih luas. Baitul Mal bukan sekedar berarti pihak (al- jihat) yang menangani harta umat, namun juga berarti suatu tempat (al-makan) untuk menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat khusus di rumahnya ¾ berupa karung atau kantung (ghirarah) ¾ untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke Madinah. Hal ini berlangsung sampai kewafatan beliau pada tahun 13 H/634 M.
Kemudian pada tahun kedua kekhilafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar merintis embrio Baitul Mal dalam arti yang lebih luas. Baitul Mal bukan sekedar berarti pihak (al- jihat) yang menangani harta umat, namun juga berarti suatu tempat (al-makan) untuk menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat khusus di rumahnya ¾ berupa karung atau kantung (ghirarah) ¾ untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke Madinah. Hal ini berlangsung sampai kewafatan beliau pada tahun 13 H/634 M.
Abu Bakar dikenal
sebagai Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada
hari kedua setelah beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau tetap berdagang dan
tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk keperluan diri dan
keluarganya. Diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad (w. 230 H/844 M), penulis biografi
para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar ¾ yang sebelumnya berprofesi sebagai
pedagang ¾ membawa barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di
pundaknya dan pergi ke pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu
dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu
Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya,
padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar
menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar
berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia
menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang
segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar,
sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun
yang diambil dan Baitul Mal.
Menjelang ajalnya tiba,
karena khawatir terhadap santunan yang diterimanya dari Baitul Mal, Abu Bakar berpesan
kepada keluarganya untuk mengembalikan santunan yang pernah diterimanya dari
Baitul Mal sejumlah 8000 dirham. Ketika keluarga Abu Bakar mengembalikan uang
tersebut setelah beliau meninggal, Umar berkomentar, “Semoga Allah merahmati
Abu Bakar. Ia telah benar-benar membuat payah orang-orang yang datang
setelahnya.” Artinya, sikap Abu Bakar yang mengembalikan uang tersebut
merupakan sikap yang berat untuk diikuti dan dilaksanakan oleh para Khalifah
generasi sesudahnya (Dahlan, 1999).
3.3.
Masa Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Setelah Abu Bakar
wafat dan Umar bin Khaththab menjadi Khalifah, beliau mengumpulkan para
bendaharawan kemudian masuk ke rumah Abu Bakar dan membuka Baitul Mal. Ternyata
Umar hanya mendapatkan satu dinar saja, yang terjatuh dari kantungnya. Akan
tetapi setelah penaklukan‑penaklukan (futuhat) terhadap negara lain semakin
banyak terjadi pada masa Umar dan kaum muslimin berhasil menaklukan negeri
Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi), semakin banyaklah harta yang mengalir ke
kota Madinah. Oleh karena itu, Umar lalu membangun sebuah rumah khusus untuk
menyimpan harta, membentuk diwan-diwannya (kantor-kantornya), mengangkat para
penulisnya, menetapkan gaji-gaji dari harta Baitul Mal, serta membangun
angkatan perang. Kadang‑kadang ia menyimpan seperlima bagian dari harta
ghanimah di masjid dan segera membagi‑bagikannya. Mengenai mulai banyaknya
harta umat ini, Ibnu Abbas pernah mengisahkan : Umar pernah memanggilku,
ternyata di hadapannya ada setumpuk emas terhampar di hadapannya. Umar lalu
berkata : ‘Kemarilah kalian, aku akan membagikan ini kepada kaum muslimin.
Sesungguhnya Allah lebih mengetahui mengapa emas ini ditahan-Nya dari Nabi-Nya
dan Abu Bakar, lalu diberikannya kepadaku. Allah pula yang lebih mengetahui apakah
dengan emas ini Allah menghendaki kebaikan atau keburukan’Selama memerintah, Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999).
3.4.
Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi yang sama juga
berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan
keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam
pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab
Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam
mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan
keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa
pemerintahannya. Ia memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan ¾ yang
kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M ¾ dari
penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya
dan ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi
yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya
dari Baitul Mal sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka
dari Baitul Mal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada
sementara sanak kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya.” (Dahlan, 1999).
3.5.
Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada masa pemerintahan
Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang
sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti
disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi
tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.
Ketika berkobar peperangan
antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (khalifah pertama Bani
Umayyah), orang-orang yang dekat di sekitar Ali menyarankan Ali agar mengambil
dana dari Baitul Mal sebagai hadiah bagi orang-orang yang membantunya.
Tujuannya untuk mempertahankan diri Ali sendiri dan kaum muslimin. Mendengar
ucapan itu, Ali sangat marah dan berkata, “Apakah kalian memerintahkan aku
untuk mencari kemenangan dengan kezaliman? Demi Allah, aku tidak akan
melakukannya selama matahari masih terbit dan selama masih ada bintang di
langit.”(Dahlan, 1999)
3.6. Masa
Khalifah-Khalifah Sesudahnya
Ketika Dunia Islam
berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah.
Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan
penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa
pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan
Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan, 1999).
Keadaan di atas berlangsung
sampai datangnya Khalifah ke-8 Bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz
(memerintah 717-720 M). Umar berupaya untuk membersihkan Baitul Mal dari
pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang
berhak menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para Amir bawahannya agar
mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak
sah. Di samping itu, Umar sendiri mengembalikan milik pribadinya sendiri, yang
waktu itu berjumlah sekitar 40.000 dinar setahun, ke Baitul Mal. Harta tersebut
diperoleh dan warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan. Di antara harta itu
terdapat perkampungan Fadak, desa di sebelah utara Mekah, yang sejak Nabi SAW
wafat dijadikan rnilik negara. Namun, Marwan bin Hakam (khalifah ke-4 Bani
Umayah, memerintah 684-685 M) telah memasukkan harta tersebut sebagai milik
pribadinya dan mewariskannya kepada anak-anaknya. (Dahlan, 1999)
Akan tetapi, kondisi
Baitul Mal yang telah dikembalikan oleh Umar bin Abdul Aziz kepada posisi yang
sebenarnya itu tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para penguasa telah
meruntuhkan sendi-sendi Baitul Mal, dan keadaan demikian berkepanjangan sampai
masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah. Dalam keadaan demikian, tidak sedikit kritik
yang datang dan ulama, namun semuanya diabaikan, atau ulama itu sendiri yang
diintimidasi agar tutup mulut. lmam Abu Hanifah, pendiri Madzhab Hanafi,
mengecam tindakan Abu Ja’far Al Mansur (khalifah ke-2 Bani Abbasiyah,
memerintah 754-775 M), yang dipandangnya berbuat zalim dalam pemerintahannya
dan berlaku curang dalam pengelolaan Baitul Mal dengan memberikan hadiah kepada
banyak orang yang dekat dengannya.
lmam Abu Hanifah
menolak bingkisan dan Khalitah Al Mansur. Tentang sikapnya itu Imam Abu Hanifah
menjelaskan, “Amirul Mukminin tidak memberiku dari hartanya sendiri. Ia
memberiku dari Baitul Mal, milik kaum muslimin, sedangkan aku tidak memiliki
hak darinya. 0leh sebab itu, aku menolaknya. Sekiranya Ia memberiku dari
hartanya sendiri, niscaya aku akan menerimanya.”
Namun bagaimana pun, terlepas dari berbagai penyimpangan yang terjadi, Baitul Mal harus diakui telah tampil dalam panggung sejarah Islam sebagai lembaga negara yang banyak berjasa bagi perkembangan peradaban Islam dan penciptaan kesejahteraan bagi kaum muslimin. Keberadaannya telah menghiasi lembaran sejarah Islam dan terus berlangsung hingga runtuhnya Khilafah yang terakhir, yaitu Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924.
Namun bagaimana pun, terlepas dari berbagai penyimpangan yang terjadi, Baitul Mal harus diakui telah tampil dalam panggung sejarah Islam sebagai lembaga negara yang banyak berjasa bagi perkembangan peradaban Islam dan penciptaan kesejahteraan bagi kaum muslimin. Keberadaannya telah menghiasi lembaran sejarah Islam dan terus berlangsung hingga runtuhnya Khilafah yang terakhir, yaitu Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924.
4.2. Diwan-Diwan Baitul Mal Yang Ada
Kemudian Yang diuraikan sebelumnya adalah Diwan (dalam arti arsip) yang pertama
kali ada, yaitu Diwan untuk pemberian harta dan angkatan bersenjata (Diwan Al
‘Atha` wal Jund).
Seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab. Adapun
Diwan untuk pemasukan dan pemungutan harta (Diwan Al Istifa` wa Jibayatul
Amwal), tidak ditulis dalam bahasa Arab, tetapi ditulis dalam bahasa wilayah
masing-masing, misalnya Diwan Irak ditulis dalam Bahasa Persia, sebagaimana
yang terjadi pada masa Persia sebelumnya. Demikian juga negeri-negeri lain yang
dulunya tunduk kepada kekuasaan Persia, Diwan yang mencatat pemasukan kharaj,
jizyah, dan pemungutan hartanya ditulis dalam bahasa Persia. Adapun untuk
negeri Syam dan daerah-daerah yang dulunya tunduk kepada kekuasaan Romawi, maka
Diwannya ditulis dalam bahasa Romawi.
Keadaan tersebut ¾ baik untuk Irak maupun Syam ¾ terus berlangsung demikian dari masa Kekhilafahan Umar bin Khaththab sampai masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Bani Umayyah. Pada tahun 81 H, Diwan yang mencatat segala sesuatu mengenai urusan harta negeri Syam, diubah penulisannya dengan bahasa Arab Yang mendorong Abdul Malik bin Marwan melakukan perubahan penulisan tersebut, adalah suatu peristiwa di mana seorang penulis Diwan itu ¾ yang berbangsa Romawi ¾ suatu ketika membutuhkan tinta untuk mengisi penanya. Namun rupanya ia tidak mendapatkannya. Lalu sebagai gantinya ia gunakan air kencingnya sebagai tinta untuk penanya. Kejadian lalu ini dilaporkan kepada Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Beliau lalu menindaknya dan memerintahkan Sulaiman bin Sa’ad untuk mengubah Diwan tersebut dengan bahasa Arab. Sulaiman menyelesaikan perubahan Diwan tersebut dalam waktu tidak sampai setahun. Khalifah Abdul Malik bin Marwan mendatanginya dan memanggil penulisnya yang bernama Sarjun, kemudian beliau memperlihatkan kepadanya dan menutupnya kembali. Sarjun lalu keluar dari tempat itu dalam keadaan sedih, tak lama kemudian sekelompok penulis Romawi menemuinya dan Sarjun berkata pada mereka: ‘Carilah pekerjaan selain pekerjaan ini, karena Allah SWT telah memutuskan pekerjaan ini dari kalian.’
Adapun Diwan yang mencatat segala urusan harta negeri Irak, dalam hal ini Al-Hajjaj ¾Wali yang diangkat Abdul Malik bin Marwan di Irak¾ telah memerintahkan penulisnya yang bernama Shalih bin Aburrahman untuk mengubah Diwan dari bahasa Persia menjadi bahasa Arab. Ketika hal tersebut diketahui oleh salah seorang penulis Al Hajjaj yang berkebangsaan Persia ¾bernama Muradansyah bin Zadaan Farukh¾ dia berusaha menyuap Shalih 100 ribu dirham agar Shalih tidak melakukan tugas itu, namun Shalih menolaknya (Zallum, 1983).
Keadaan tersebut ¾ baik untuk Irak maupun Syam ¾ terus berlangsung demikian dari masa Kekhilafahan Umar bin Khaththab sampai masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Bani Umayyah. Pada tahun 81 H, Diwan yang mencatat segala sesuatu mengenai urusan harta negeri Syam, diubah penulisannya dengan bahasa Arab Yang mendorong Abdul Malik bin Marwan melakukan perubahan penulisan tersebut, adalah suatu peristiwa di mana seorang penulis Diwan itu ¾ yang berbangsa Romawi ¾ suatu ketika membutuhkan tinta untuk mengisi penanya. Namun rupanya ia tidak mendapatkannya. Lalu sebagai gantinya ia gunakan air kencingnya sebagai tinta untuk penanya. Kejadian lalu ini dilaporkan kepada Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Beliau lalu menindaknya dan memerintahkan Sulaiman bin Sa’ad untuk mengubah Diwan tersebut dengan bahasa Arab. Sulaiman menyelesaikan perubahan Diwan tersebut dalam waktu tidak sampai setahun. Khalifah Abdul Malik bin Marwan mendatanginya dan memanggil penulisnya yang bernama Sarjun, kemudian beliau memperlihatkan kepadanya dan menutupnya kembali. Sarjun lalu keluar dari tempat itu dalam keadaan sedih, tak lama kemudian sekelompok penulis Romawi menemuinya dan Sarjun berkata pada mereka: ‘Carilah pekerjaan selain pekerjaan ini, karena Allah SWT telah memutuskan pekerjaan ini dari kalian.’
Adapun Diwan yang mencatat segala urusan harta negeri Irak, dalam hal ini Al-Hajjaj ¾Wali yang diangkat Abdul Malik bin Marwan di Irak¾ telah memerintahkan penulisnya yang bernama Shalih bin Aburrahman untuk mengubah Diwan dari bahasa Persia menjadi bahasa Arab. Ketika hal tersebut diketahui oleh salah seorang penulis Al Hajjaj yang berkebangsaan Persia ¾bernama Muradansyah bin Zadaan Farukh¾ dia berusaha menyuap Shalih 100 ribu dirham agar Shalih tidak melakukan tugas itu, namun Shalih menolaknya (Zallum, 1983).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SALURKAN ZAKAT, INFAQ & SHADAQAH ANDA MELALUI LEMBAGA AMIL BAITUL MAL ACEH UTARA