5.Menggagas Konsep
Baitul Mal
5.1. Sumber Dana/Harta
Baitul Mal Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani
Baitul Mal Syaikh
Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitabnya An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam (1990)
telah menjelaskan sumber-sumber pemasukan bagi Baitul Mal dan kaidah-kaidah
pengelolaan hartanya. Sumber-sumber tetap bagi Baitul Mal menurutnya adalah:
fai’, ghanimah/anfal, kharaj, jizyah, pemasukan dari harta milik umum,
pemasukan dari harta milik negara, usyuur, khumus dari rikaz, tambang, serta
harta zakat (An Nabhani, 1990).
Hanya saja, harta zakat diletakkan pada kas khusus Baitul Mal, dan tidak diberikan selain untuk delapan ashnaf (kelompok) yang telah disebutkan di dalam Al Qur’an. Tidak sedikit pun dari harta zakat tersebut boleh diberikan kepada selain delapan ashnaf tersebut, baik untuk urusan negara, maupun urusan umat.
Imam (Khalifah) boleh saja memberikan harta zakat tersebut berdasarkan pendapat dan ijtihadnya kepada siapa saja dari kalangan delapan ashnaf tersebut. Imam (Khalifah) juga berhak untuk memberikan harta tersebut kepada satu ashnaf atau lebih, atau membagikannya kepada mereka semuanya (An Nabhani, 1990). Begitu pula pemasukan harta dari hak milik umum. Harta itu diletakkan pada Diwan khusus Baitul Mal, dan tidak boleh dicampuradukkan dengan yang lain. Sebab harta tersebut menjadi hak milik seluruh kaum muslimin, yang diberikan oleh Khalifah sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin yang menjadi pandangan dan ijtihadnya berdasarkan hukum-hukum syara’.
Hanya saja, harta zakat diletakkan pada kas khusus Baitul Mal, dan tidak diberikan selain untuk delapan ashnaf (kelompok) yang telah disebutkan di dalam Al Qur’an. Tidak sedikit pun dari harta zakat tersebut boleh diberikan kepada selain delapan ashnaf tersebut, baik untuk urusan negara, maupun urusan umat.
Imam (Khalifah) boleh saja memberikan harta zakat tersebut berdasarkan pendapat dan ijtihadnya kepada siapa saja dari kalangan delapan ashnaf tersebut. Imam (Khalifah) juga berhak untuk memberikan harta tersebut kepada satu ashnaf atau lebih, atau membagikannya kepada mereka semuanya (An Nabhani, 1990). Begitu pula pemasukan harta dari hak milik umum. Harta itu diletakkan pada Diwan khusus Baitul Mal, dan tidak boleh dicampuradukkan dengan yang lain. Sebab harta tersebut menjadi hak milik seluruh kaum muslimin, yang diberikan oleh Khalifah sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin yang menjadi pandangan dan ijtihadnya berdasarkan hukum-hukum syara’.
Sedangkan harta-harta
yang lain, yang merupakan hak Baitul Mal, diletakkan secara bercampur pada
Baitul Mal dengan harta yang lain, serta dibelanjakan untuk urusan negara dan
urusan umat, juga delapan ashnaf, dan apa saja yang penting menurut pandangan
negara.
Apabila harta-harta ini cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat, maka cukuplah dengan harta tersebut. Apabila tidak, maka negara berhak mewajibkan pajak (dharibah) kepada seluruh kaum muslimin, untuk menunaikan tuntutan dari pelayanan urusan umat (An Nabhani, 1990).
Apabila harta-harta ini cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat, maka cukuplah dengan harta tersebut. Apabila tidak, maka negara berhak mewajibkan pajak (dharibah) kepada seluruh kaum muslimin, untuk menunaikan tuntutan dari pelayanan urusan umat (An Nabhani, 1990).
Yang juga termasuk dalam kategori sumber pemasukan yang diletakkan di dalam Baitul Mal dan dibelanjakan untuk kepentingan rakyat, adalah harta yang diperoleh oleh seorang ‘asyir dari kafir harbi dan mu’ahad (disebut dengan istilah usyuur), harta-harta yang diperoleh dari hak milik umum atau hak milik negara, dan harta-harta waris dari orang yang tidak mempunyai ahli waris (An Nabhani, 1990).
Apabila hak-hak Baitul Mal tersebut lebih untuk membayar tanggungannya, misalnya harta yang ada melebihi belanja yang dituntut dari Baitul Mal, maka harus diteliti terlebih dahulu : Apabila kelebihan tersebut berasal dari harta fai’, maka kelebihan tersebut diberikan kepada rakyat dalam bentuk pemberian. Apabila kelebihan tersebut berasal dari harta jizyah dan kharaj, Baitul Mal akan menahan harta tersebut untuk disalurkan pada kejadian-kejadian yang menimpa kaum muslimin, dan Baitul Mal tidak akan membebaskan jizyah dan kharaj tersebut dari orang yang wajib membayarnya. Sebab, hukum syara’ mewajibkan jizyah dari orang yang mampu, dan mewajibkan kharaj dari tanah berdasarkan kadar kandungan tanahnya. Apabila kelebihan tersebut dari zakat, maka kelebihan tersebut harus disimpan di dalam Baitul Mal hingga ditemukan delapan ashnaf yang mendapatkan Diwan harta tersebut. Maka, ketika ditemukan kelebihan tersebut akan dibagikan kepada yang bersangkutan. Apabila kelebihan tersebut berasal dari harta yang diwajibkan kepada kaum muslimin, maka kewajiban tersebut dihentikan dari mereka, dan mereka dibebaskan dari pembayaran tersebut (An Nabhani, 1990).
5.2. Prinsip
Pengelolaan Harta Baitul Mal Pengeluaran atau penggunaan harta Baitul Mal
menurut uraian Taqiyyuddin An Nabhani
Baitul
Mal Pengeluaran atau penggunaan harta Baitul Mal menurut uraian
Taqiyyuddin An Nabhani (1990) ditetapkan berdasarkan enam kaidah berikut, yang
didasarkan pada kategori tatacara pengelolaan harta :
1. Harta
yang mempunyai kas khusus dalam Baitul Mal, yaitu harta zakat. Harta tersebut
adalah hak delapan ashnaf yang akan diberikan kepada mereka, bila harta
tersebut ada. Apabila harta dari bagian zakat tersebut ada pada Baitul Mal,
maka pembagiannya diberikan pada delapan ashnaf yang disebutkan di dalam Al Qur’an
sebagai pihak yang berhak atas zakat, serta wajib diberikan kepada mereka.
Apabila harta tersebut tidak ada, maka kepemilikan terhadap harta tersebut bagi
orang yang berhak mendapatkan bagian tadi telah gugur. Dengan kata lain, bila
di dalam Baitul Mal tidak terdapat harta dari bagian zakat tersebut, maka tidak
seorang pun dari delapan ashnaf tadi yang berhak mendapatkan bagian zakat. Dan
tidak akan dicarikan pinjaman untuk membayar zakat tersebut, berapapun jumlah
hasil pengumpulannya.
2. Harta
yang diberikan Baitul Mal untuk menanggulangi terjadinya kekurangan, serta
untuk melaksanakan kewajiban jihad. Misalnya nafkah untuk para fakir miskin dan
ibnu sabil, serta nafkah untuk keperluan jihad. Hak mendapatkan pemberian untuk
keperluan ini tidak ditentukan berdasarkan adanya harta tersebut. Jadi hak
tersebut merupakan hak yang bersifat tetap, baik harta tersebut ada maupun
tidak ada di dalam Baitul Mal. Apabila harta tersebut ada, maka seketika itu
wajib diberikan. Apabila tidak ada, lalu dikhawatirkan akan terjadi
kerusakan/mafsadat karena pemberiannya ditunda, maka negara bisa meminjam harta
untuk dibagikan seketika itu juga, berapapun hasil pengumpulan harta tersebut
dari kaum muslimin, lalu dilunasi oleh negara. Namun, apabila tidak khawatir
terjadi kerusakan, diberlakukanlah kaidah ‘fa nazhiratun ila maisarah.’ (maka
hendaklah kita menunggu, sampai ada kelapangan/kecukupan harta). Pembagian
harta bisa ditunda, hingga terkumpul dalam jumlah cukup, baru setelah itu
diserahkan kepada yang berhak.
3. Harta
yang diberikan Baitul Mal sebagai suatu pengganti/kompensasi (badal/ujrah),
yaitu harta yang menjadi hak orang-orang yang telah memberikan jasa, seperti
gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, tenaga edukatif, dan sebagainya. Hak
mendapatkan pemberian ini tidak ditentukan berdasarkan adanya harta tersebut.
Jadi hak tersebut merupakan hak yang bersifat tetap, baik harta tersebut ada
maupun tidak ada di dalam Baitul Mal. Apabila harta tersebut ada, maka seketika
itu wajib diberikan. Apabila tidak ada, maka negara wajib mengusahakannya,
dengan cara memungut harta yang diwajibkan atas kaum muslimin. Apabila
dikhawatirkan akan terjadi kerusakan, bila pemberian tersebut tidak segera
diserahkan, maka negara harus meminjam harta untuk diberikan seketika itu juga,
berapapun jumlah hasil pengumpulan hartanya dari kaum muslimin, kemudian negara
melunasinya. Apabila tidak khawatir akan terjadi kerusakan, maka
diberlakukanlah kaidah ‘fa nazhiratun ila maisarah.’ (maka hendaklah kita
menunggu, sampai ada kelapangan/kecukupan harta) dimana pembagian hartanya bisa
ditunda, hingga harta tersebut terkumpul baru setelah itu diserahkan kepada
yang berhak.
4. Harta
yang dikelola Baitul Mal yang bukan sebagai pengganti/ kompensasi
(badal/ujrah), tetapi yang digunakan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan secara
umum. Misalnya sarana jalan, air, bangunan masjid, sekolah, rumah sakit, dan
sarana-sarana lainnya, yang keberadaanya dianggap sebagai sesuatu yang urgen,
dimana umat akan mengalami penderitaan/mudharat jika sarana-sarana tersebut
tidak ada. Hak mendapatkan pemberian untuk keperluan ini tidak ditentukan
berdasarkan adanya harta tersebut. Hak tersebut bersifat tetap, baik pada saat
harta tersebut ada maupun tidak. Apabila di dalam Baitul Mal ada harta, maka
wajib disalurkan untuk keperluan tersebut. Apabila di dalam Baitul Mal tidak
ada harta, maka kewajibannya berpindah kepada umat, sehingga harta tersebut
bisa dikumpulkan dari umat secukupnya untuk memenuhi pengeluaran-pengeluaran
yang bersifat tetap tersebut.
5. Harta
yang diberikan Baitul Mal karena adanya kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan
sebagai pengganti/kompensasi (badal/ujrah). Hanya saja, umat tidak sampai
tertimpa penderitaan/mudharat karena tidak adanya pemberian tersebut. Misalnya
pembuatan jalan kedua/alternatif setelah ada jalan yang lain, atau membuka
rumah sakit baru sementara dengan adanya rumah sakit yang lain sudah cukup,
atau membuka jalan yang dekat, sementara orang-orang bisa menemukan jalan lain
yang jauh, ataupun yang lainnya. Hak mendapatkan pemberian ini ditentukan
berdasarkan adanya harta tersebut. Kalau di dalam Baitul Mal terdapat harta,
wajib disalurkan untuk keperluan-keperluan tersebut. Apabila di dalam Baitul
Mal tidak terdapat harta, maka kewajiban tersebut gugur dari Baitul Mal. Kaum
muslimin juga tidak wajib membayar untuk keperluan ini, sebab sejak awal ia
tidak wajib bagi kaum muslimin.
6. Harta
yang disalurkan Baitul Mal karena adanya unsur kedaruratan, semisal
paceklik/kelaparan, angin taufan, gempa bumi, atau serangan musuh. Hak
memperoleh pemberian tersebut tidak ditentukan berdasarkan adanya harta
tersebut. Jadi merupakan hak yang tetap, baik pada saat harta tersebut ada
maupun tidak. Apabila harta tersebut ada, maka wajib disalurkan seketika itu
juga. Apabila harta tersebut tidak ada, maka kewajibannya meluas kepada kaum
muslimin, sehingga harta tersebut wajib dikumpulkan dari kaum muslimin seketika
itu juga. Kemudian harta tersebut diletakkan di dalam Baitul Mal untuk
disalurkan kepada yang berhak. Apabila dikhawatirkan akan terjadi penderitaan/mafsadat
karena penyalurannya ditunda hingga terkumpul semuanya, negara wajib meminjam
harta, lalu meletakkannya dalam Baitul Mal, dan seketika itu disalurkan kepada
yang berhak. Kemudian hutang tersebut dibayar oleh negara dari harta yang
dikumpulkan dari kaum muslimin.
6.
Kesimpulan
Dari seluruh uraian
yang telah dipaparkan dapatlah ditarik beberapa kesimpulan umum sebagai berikut
:
-
Pertama, Baitul Mal sesungguhnya
bukanlah lembaga privat atau swasta yang hanya menangani sebagian aspek
kegiatan ekonomi umat, melainkan sebuah lembaga yang mengurusi segala pemasukan
dan pengeluaran dari negara Islam (Khilafah).
-
Kedua, Baitul Mal dalam pengertian
sebagai bagian dari institusi negara yang mengurusi pemasukan dan pengeluaran
negara tersebut, telah dipraktekkan dengan berbagai nuansa kelebihan dan
kekurangannya dalam sejarah Islam sejak masa Rasulullah, diteruskan oleh para
khalifah sesudahnya, hingga kehancuran Khilafah di Turki tahun 1924.
-
Ketiga, Gagasan konsep Baitul Mal yang
ideal haruslah merujuk kepada ketentuan syariah, baik dalam hal sumber-sumber
pendapatan maupun dalam hal pengelolaannya.
11. Khatimah
11. Khatimah
Demikianlah sekilas konsep Baitul Mal yang ada dalam catatan sejarah dan juga gagasan mengenai Baitul Mal yang akan kita terapkan di masa depan, bila Khilafah Islamiyah berdiri suatu saat nanti, Insya Allah. Satu hal yang patut dicatat, posisi Baitul Mal sangatlah penting dan strategis bagi Khilafah Islamiyah. Dengan Baitul Mal, harta-harta dikumpulkan dan didistribusikan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Dengan Baitul Mal, tugas pokok Khalifah akan dapat didukung dan terselenggara dengan sempurna, yaitu menerapkan syari’at Islam di dalam negeri dalam semua aspek kehidupan, dan menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan jalan dakwah dan jihad fi sabilillah ke luar negeri. Wallahu a’ lam bish shawab.
DAFTAR PUSTAKA
-
An Nabhani, Taqiyyuddin. 1990. An Nizham
Al Iqtishadi Fi Al Islam.Cetakan IV.
-
Beirut : Darul Ummah.Dahlan, Abdul Aziz.
et.al. 1999. Ensiklopedi Hukum Islam. Cetakan II. Jakarta : PT Ichtiar Baru van
Hoeve.Hakim, Cecep Maskanul. 1995.
-
Konsep Pengembangan Baitul Mal. Paper
Seminar Ekonomi Islam ICMI Bandung.
Qaradhawi, Yusuf. 1997.
Qaradhawi, Yusuf. 1997.
-
Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta :
Gema Insani Press. Tim DD-FES-BMT. 1997.
-
Pedoman Kemitraan Dompet Dhuafa
Republika-FES-BMT. Jakarta : Dompet Dhuafa Republika.
-
Zallum, Abdul Qadim. 1983. Al Amwal Fi
Daulah Al Khilafah. Cetakan I.
-
Beirut : Darul ‘Ilmi Lil Malayin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SALURKAN ZAKAT, INFAQ & SHADAQAH ANDA MELALUI LEMBAGA AMIL BAITUL MAL ACEH UTARA